
Minggu, 13 Juli 2025, 20.27 WIB, Jakarta, Indonesia
Ketegangan di Timur Tengah kembali memanas setelah Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran mengeluarkan ancaman eksplisit untuk menutup Selat Hormuz, jalur pelayaran minyak paling vital di dunia. Ancaman ini dilontarkan sebagai respons atas rencana penerapan sanksi ekonomi baru yang lebih ketat oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Jika ancaman ini benar-benar direalisasikan, dampaknya akan terasa secara global, memicu krisis energi, mengacaukan rantai pasok dunia, dan berpotensi menyulut konflik militer terbuka.
Pentingnya Selat Hormuz Secara Strategis Jalur Nadi Minyak Dunia
Selat Hormuz adalah selat sempit yang memisahkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Sekitar 20-30% dari total konsumsi minyak dunia, atau sekitar 21 juta barel per hari, melewati jalur ini. Produsen minyak utama seperti Arab Saudi, Irak, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Qatar sangat bergantung pada selat ini untuk mengirimkan minyak mentah mereka ke pasar global, terutama ke negara-negara di Asia seperti Tiongkok, Jepang, India, dan Korea Selatan.
Seorang analis energi dari S&P Global Platts, Dr. Daniel Yergin, menjelaskan, “Tidak ada rute alternatif yang mampu menggantikan kapasitas Selat Hormuz. Penutupan total, bahkan untuk beberapa hari saja, akan langsung menyebabkan guncangan pasokan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah arteri utama dari sistem energi global.”
Potensi Dampak Global dari Penutupan Krisis Energi dan Lonjakan Harga Minyak
Dampak pertama dan paling cepat terasa adalah lonjakan drastis harga minyak dunia. Analis memperkirakan harga minyak mentah bisa melonjak hingga di atas 150 ataubahkan 200 per barel dalam hitungan hari. Hal ini akan memicu inflasi global, meningkatkan biaya produksi di semua sektor industri, dan menaikkan harga bahan bakar secara signifikan bagi konsumen di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Kekacauan Rantai Pasok dan Ekonomi Global
Selain minyak, Selat Hormuz juga merupakan jalur penting bagi gas alam cair (LNG) dan barang-barang lainnya. Penutupan selat akan mengganggu jadwal pengiriman, menyebabkan kemacetan di pelabuhan lain, dan meningkatkan biaya asuransi pengapalan secara eksponensial. Bagi negara-negara industri yang sangat bergantung pada impor energi dari Teluk, seperti Jepang dan Korea Selatan, hal ini dapat memicu resesi ekonomi. Ekonomi global yang masih dalam tahap pemulihan rapuh pasca pandemi akan menghadapi pukulan telak.
Risiko Konflik Militer
Ancaman penutupan Selat Hormuz hampir pasti akan direspons dengan tindakan militer oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Armada Kelima Angkatan Laut AS yang berbasis di Bahrain memiliki misi utama untuk menjaga kebebasan navigasi di perairan tersebut. Setiap upaya Iran untuk memblokade selat dengan ranjau laut, kapal cepat, atau rudal anti-kapal kemungkinan besar akan memicu konfrontasi langsung. “Ini adalah ‘garis merah’ bagi Washington. Kebebasan navigasi di Hormuz tidak dapat dinegosiasikan. Eskalasi menuju konflik bersenjata menjadi risiko yang sangat nyata,” ujar seorang peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz lebih dari sekadar retorika politik; ini adalah ancaman terhadap stabilitas ekonomi dan keamanan global. Meskipun banyak pihak berharap ini hanya gertakan untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih baik dalam negosiasi, dunia kini menahan napas. Reaksi pasar energi dalam beberapa hari ke depan dan langkah-langkah diplomatik yang diambil oleh kekuatan dunia akan menjadi penentu apakah ancaman ini akan menguap atau justru menjadi pemicu krisis global berikutnya.